Rabu, 11 Mei 2011

GENERASI TANPA AYAH

Koming yang belum genap sembilan tahun berdiri di jendela lantai dua rumahnya, ia bermaksud melompat dan bunuh diri. Beberapa kali dari mulutnya yang mungil terucap kalimat yang sama, “Lebih baik Koming mati saja, papa tidak sayang Koming, mama tidak sayang Koming…..”

Apa sebenarnya yang ada di benak anak tersebut? Apa yang telah terjadi dengannya sehingga dia merasa tak ada lagi gunanya hidup? Mengapa ayah ibu dianggapnya tak sayang lagi kepadanya? Beberapa bulan belakangan ini ayah Koming memang sangat sibuk dan sering ke luar kota. Tak ada lagi makan bersama, bermain catur, ataupun sekedar nonton TV bersama. Ibu Koming sering sedih dan marah-marah karena mendapati berbagai bukti bahwa suaminya selingkuh dan menelantarkan keluarga.

Di era modern seperti sekarang ini, dimana pengaruh teknologi dan media komunikasi begitu majunya, perlahan tapi pasti keluarga mulai kehilangan fungsinya. Dulu hubungan orang-tua dan anak begitu mudahnya terjalin, kapanpun anak membutuhkan orang-tua selalu ada, secara rutin keluarga memiliki hari-hari raya dan ibadah yang membuat mereka berkumpul bersama untuk waktu yang cukup panjang. Sekarang karena begitu tingginya tingkat kebutuhan hidup, orangtua seolah tak punya banyak waktu lagi. Mereka harus bekerja, bekerja dan bekerja, demi siapa lagi kalau bukan demi keluarga. Demikian juga anak, mereka dituntut untuk terus belajar demi masa depan yang harus diperjuangkan.

Dalam situasi yang padat semacam ini upaya-upaya untuk menghilangkan kejenuhan tentu sangat dibutuhkan. Sayangnya justru kegiatan-kegiatan negatif yang lebih sering mereka pilih, dalam usia yang masih sangat belia banyak orang telah mengenal rokok, alkohol, obat-obat terlarang, narkotika, video porno, hubungan seks sejenis maupun lawan jenis, dan sebagainya. Mereka yang sudah berkeluarga sering jatuh dalam berbagai masalah perselingkuhan, penyalah-gunaan keuangan, pekerjaan, serta kemunafikan. Hubungan keluarga makin lama menjadi makin renggang, karena orang-tua dan anak saling menuntut untuk sebuah standart moral yang sering mereka langgar sendiri.

Ayah sebagai kepala dalam rumah tangga seringkali tak lagi diteladani dan dihormati. Salah satunya karena perilaku dan ucapan mereka yang penuh kekerasan dan sering menimbulkan luka-luka batin, baik bagi istri maupun bagi anak-anak mereka. Cukup banyak ayah yang pergi begitu saja meningggalkan istri dan anak-anaknya di rumah untuk jangka waktu yang tidak bisa ditentukan. Sebagian dari mereka memiliki istri lagi, ataupun hanya sekedar pasangan selingkuh yang justru dipenuhi seluruh kebutuhan hidupnya. Sebagian lagi sepertinya ada di rumah, tetapi tanpa suatu peran yang jelas, karena ayah seringkali tak mau dan tak mampu terlibat secara emosional untuk urusan keluarga dan rumah tangganya.

Dari semua ajaran kitab suci dan berbagai penelitian sosial kita memperoleh fakta bahwa seorang anak tidak saja membutuhkan ibunya tetapi juga ayahnya, agar dapat tumbuh dan berkembang menjadi citra diri yang sehat. Tetapi krisis peran ayah makin terasa saja, para istri mulai mengambil alih peran suami mereka, sehingga dalam perahu rumah tangga tersebut seolah ada 2 orang nahkoda. Sulit sekali bagi istri untuk menghormati suami dan memberikan posisi RAJA di rumah tangga mereka (maksudnya: kepala, pemimpin, dan penanggung-jawab keluarga).

Keadaan makin rumit saat orangtua terlibat berbagai macam perselisihan, mulai dari pertengkaran yang hebat sampai dendam mendalam yang telah tersimpan bertahun-tahun lamanya. Anak-anak menjadi sulit memilih, mereka harus berada di pihak siapa? Akhirnya anak-anak belajar untuk berpura-pura dan munafik demi menyenangkan hati kedua orangtua mereka dan menenangkan diri mereka sendiri.

Anak-anak akhirnya bertumbuh menjadi GENERASI TANPA AYAH. Kesulitan mulai terasa manakala ibu ternyata juga tak siap menjadi PERMAISURI pengganti Raja yang sedang ‘sakit’ tadi. Ibu tak tahu harus bagaimana memperlakukan anak-anak saat mereka meminta berbagai kebutuhan mereka, sementara semua orang menuntut anak-anak untuk bertumbuh dewasa menjadi pribadi yang cerdas, pemberani, disiplin dan bertanggung-jawab. Bagaimana anak dapat mengerti tentang ayah yang baik jika tak pernah merasakan punya ayah yang baik?

(Dibawakan dalam Seminar Interaktif “Peran Keluarga Dalam Menghindari Seks Pranikah Serta Upaya Membentuk Generasi Berprestasi” di Amlapura, 21 April 2011).