Sabtu, 03 Oktober 2009

KONSELING PERKAWINAN

KONSELING PERKAWINAN
Media Memahami Peran dan Fungsi Keluarga


Seorang wanita menangis tersedu-sedu menceritakan kekecewaan dan kesedihannya. Suami yang selama ini dihormati dan dikaguminya ternyata menyimpan segudang dusta. Mereka menikah 3 tahun yang lalu dengan status sama-sama bujangan, dibuktikan dengan KTP dan pengantar dari aparat masyarakat setempat. Betapa terkejutnya wanita ini saat suatu hari sang suami mengaku bahwa dirinya sebenarnya pernah menikah, tetapi telah bercerai, serta memiliki 3 orang anak yang sedang terlantar. Suami bermaksud mengajak anak-anak tersebut tinggal bersama mereka, membiayai kehidupan mereka sampai selesai sekolah. Pengakuan jujur suaminya ini bagaikan petir yang menyambarnya di siang hari terik. Rasa marah, kesal, sedih bercampur iba memenuhi dirinya. Apa yang harus dilakukannya? Apa kata keluarganya nanti? Haruskah bercerai karena kebohongan ini seperti anjuran rekan-rekan dan para tokoh masyarakat yang didatanginya?


Konseling perkawinan memang belum terlalu familiar dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Konseling perkawinan merupakan suatu bentuk layanan yang sangat bermanfaat bagi keluarga, yang disediakan oleh para psikiater, psikolog ataupun lembaga-lembaga keagamaan. Sebagian kita masih enggan untuk membuka diri menceritakan problemanya kepada para konselor. Apalagi hal ini menyangkut privacy diri dan keluarga mereka. ‘Tak baik membuka aib keluarga!’ Kalimat ini merupakan alasan kuat mereka menutup diri dan menyelesaikannya dengan ‘halus’ agar tak kedengaran orang lain.
Cukup banyak pasangan yang datang menemui psikiater ataupun psikolog dalam kondisi perkawinan yang sudah hancur dan siap untuk bercerai, ditambah lagi dengan berbgai penyakit fisik dan psikis / mental. Kadang salah satu dari mereka hanya mengkonsultasikan anak-anak yang terluka dan berperilaku sangat menyimpang sesudah perceraian terjadi.

Padahal kalau saja mereka mau datang lebih awal, saat masalah mulai tercium, banyak hal yang masih bisa diselamatkan, banyak luka batin yang bisa dicegah dan banyak penyakit mental / gangguan jiwa - akibat konflik dan kehancuran keluarga - yang bisa dihindarkan. Prinsip terlebih baik mencegah daripada mengobati juga berlaku untuk konseling perkawinan, sehingga berkonsultasi dengan para psikiater tidak lagi dianggap sebagai aib dan stigma kehidupan. Justru dengan berkonsultasi lebih awal, kita bisa melakukan berbagai upaya preventif pencegahan gangguan jiwa seperti gangguan cemas, panic, depresi, somatisasi bahkan psikosis.

Diperlukan suatu pemahaman yang kuat tentang fungsi dan peran keluarga, bagaimana mengupayakan agar masing-masing anggota memahami dan mampu melaksanakannya, serta bagaimana mengantisipasi apabila mereka dihadapkan pada suatu kondisi krisis yang datang tanpa diduga sebelumnya. Semua ini bisa diperoleh melalui session-session konseling perkawinan yang akan sangat membantu jika dimanfaatkan sejak dini, apalagi jika dimulai sejak sebelum pernikahan tersebut berlangsung, atau yang dikenal sebagai konseling pranikah.

Fungsi dan Peran Keluarga

Keluarga merupakan satuan masyarakat terkecil yang dimiliki oleh seorang individu. Kalau keluarga bisa memainkan peranannya dengan baik, individu-individu yang tumbuh dan tinggal di dalamnya niscaya akan merasa nyaman dan bertumbuh dengan sehat.
Laki-laki dan perempuan diciptakan untuk saling melengkapi dan menolong. Bible mencatat bahwa pada awalnya Tuhan menciptakan laki-laki (yang disebut Adam), kemudian karena Tuhan melihat tidak ada mahluk lain yang bisa mendampingi / sepadan dengan Adam, diciptakanNya Hawa – yang diambil dari tulang rusuk Adam. Tugas Hawa saat itu adalah mendampingi, menemani dan menolong laki-laki yang menjadi suaminya. Susah dan senang mereka jalani bersama meskipun ada banyak persoalan datang silih berganti.
Bagaimana dan apa peran masing-masing anggota keluarga memang tidak secara jelas memiliki job description, seringkali peran ini justru diperoleh turun-temurun dari para orang-tua. Seorang ahli mengibaratkan keluarga sebagai sebuah rumah, dimana suami adalah atap rumah tersebut yang melindungi dan mengayomi seisi rumahnya. Istri diibaratkan sebagai pilar besar yang menopang dan menguatkan seluruh bangunan rumah tersebut, tanpa pilar yang kokoh cepat atau lambat rumah tersebut pastilah roboh. Anak-anak diumpamakan seperti perabotan indah yang menghiasi seisi rumah, yang seringkali menjadi kebanggaan seluruh keluarga. Perabot tersebut perlu dipelihara baik-baik supaya tetap bisa bermanfaat dan menyenangkan seiisi rumahnya.
Seorang pemimpin umat yang terkenal bernama Paulus mengajarkan bahwa suami adalah imam / pemimpin dalam rumahnya, yang wajib mengasihi istrinya seperti dia mengasihi dirinya sendiri, dan tidak membuat anak-anaknya marah. Istri diwajibkan untuk tunduk dan menghormati suaminya, memelihara dan mengatur seiisi rumahnya agar semua anggota keluarga merasa nyaman di rumah. Sementara tugas anak-anak adalah menghormati dan taat pada nasihat orang-tua. Dengan kata lain sejak dahulu kala sebenarnya para pemimpin umat telah menganjurkan pembagian tugas bagi masing-masing anggota keluarga.
Edith Schaeffer menyatakan definisi keluarga, yaitu suatu lingkungan hidup yang stabil, dimana masing-masing anggotanya bisa bertumbuh. Di tempat ini akan tumbuh berbagai kreatifitas, hubungan baik antar manusia, tempat bernaung saat menghadapi badai dan berbagai persoalan, tempat belajar dan menerapkan kebenaran serta menyimpan banyak kenangan.
Penulis lain menggambarkan keluarga sebagai tempat pendidikan pada masa kecil, tempat memupuk masa depan, mengajarkan tentang kepercayaan / keyakinan, membimbing anak-anak, memberikan teladan dan perlindungan, serta berbagi kasih pada masa-masa krisis yang mereka lalui selama menjalani tumbuh kembang.
Sayangnya tidak semua orang memahami apa peran masing-masing anggota keluarga ini. Meskipun mereka memiliki keluarga yang utuh, belum tentu masing-masing anggota keluarga tersebut mengerti tugas dan fungsi masing-masing. Di era modern seperti sekarang ini banyak orangtua berpikir untuk bekerja dan mencari uang sebanyak-banyaknya. Semua dikerjakan atas nama dan demi kepentingan keluarga, sampai suatu saat kondisi yang buruk dan fatal menimpa keluarga, membuyarkan semua mimpi indah mereka.
Di saat menjalani konseling pranikah idealnya peranan masing-masing anggota keluarga ini disampaikan secara jelas, dengan memperhitungkan berbagai situasi darurat yang bisa menimpa mereka, misalnya saat salah satu dari anggota keluarga jatuh sakit, mengalami kecelakaan ataupun kecacadan sementara/menetap, atau salah satu harus bertugas di luar daerah / luar negeri untuk jangka waktu tertentu, saat suami kehilangan pekerjaan, dan berbagai kondisi tak terduga lainnya. Tugas seorang suami bukanlah hanya bekerja dan mencari uang sebanyak-banyaknya, meskipun semua itu dilakukan untuk keluarga, karena kebahagiaan keluarga tidaklah tergantung dari banyaknya uang dan harta yang mereka miliki.
Dapatkah kita membayangkan betapa tidak nyamannya memiliki keluarga yang tidak punya waktu untuk saling bertemu? Sang ayah seringkali pulang hingga larut malam sehingga tak sempat bertemu dengan anak-anaknya, karena mereka telah tidur saat ayah pulang. Pagi hari sebelum ayah bangun tidur, ternyata anak-anak sudah harus berangkat ke sekolah. Demikian juga saat ibu telah menyiapkan makan siang atau makan malam ternyata ayah dan anak-anak telah membeli makan di warung bersama teman-teman mereka.
Di jaman teknologi informatika dan komunikasi makin maju seperti sekarang ini, ironisnya justru komunikasi dalam keluarga terasa makin minim. Komunikasi orangtua dan anak juga terasa makin langka, barangkali banyak keluarga secara jujur mengakui sudah berbulan-bulan yang lalu terakhir terdengar diskusi, canda dan tawa di rumah mereka. Demikian juga komunikasi diantara suami dan istri mungkin hanya sekedar basa-basi dan melakukan kewajiban, tanpa pernah berani saling terbuka.
Hubungan keluarga semacam ini sering berkembang menjadi salah pengertian dan membawa bibit-bibit sakit hati satu sama lain. Kita bisa melihat dan merasakan adanya perubahan dalam pola dan kebiasaan dalam keluarga, terutama di kota-kota besar. Hal-hal yang biasanya merupakan tugas keluarga sudah diambil alih oleh sekolah, pegawai dan badan-badan tertentu di masyarakat. Kebersamaan dalam keluarga tidak lagi dirasakan sebagai hal yang penting dan problem keluarga dianggap hal yang biasa.

Problem Yang Sering Muncul Dalam Keluarga
Seringkali problema dalam keluarga muncul karena suami-istri merasa tidak cocok lagi satu sama lain. Mereka melupakan masa-masa indah saat baru berkenalan dan pacaran, karena saat itu rasanya sudah saling cocok dan berjodoh. Apabila keduanya diingatkan saat konseling, umumnya mereka menjawab bahwa banyak hal yang harus ditutup dan tak pantas dibuka saat berpacaran dulu. Atau banyak pasangan yang justru mengatakan hari pernikahan merekalah yang salah, karena sebenarnya mereka belum siap untuk menikah, tetapi dituntut untuk segera menikah karena si istri terlanjur hamil.
Pernikahan yang buru-buru, apalagi tanpa restu dari orang-tua, perbedaan agama, sosial-ekonomi serta adat budaya memang seringkali menjadi bumerang bagi pasangan yang terlanjur saling mencintai, atau telah berhubungan terlalu jauh. Makin kuat halangan melintang di depan mereka, kadang-kadang justru membuat pasangan tersebut nekad menerjangnya, buru-buru melaksanakan pernikahan dan lari menjauh dari kedua keluarga besar mereka.
Permasalahan akan makin menyesakkan manakala salah satu dari mereka mengalami penyakit, kecelakaan, tugas ke luar daerah, memiliki anak-anak yang bermasalah, ataupun tergoda oleh kehadiran pihak ketiga. Di saat seperti inilah mereka mulai menyesali keputusannya, tetapi seringkali mereka tak memiliki keberanian untuk menceritakannya / kembali kepada keluarga. Ada rasa bersalah yang sangat besar dalam diri mereka mengingat masa-masa mereka melawan semua nasihat orang-tua dan keluarga.
Konseling perkawinan dan konseling pra-nikah merupakan bagian yang perlu diinformasikan dan ditawarkan kepada setiap pasangan, karena sangat jarang mereka mengetahui hal ini. Dalam konseling ini tidak bisa dipatok suatu tehnik dan prosedur yang sama dan seragam karena pada dasarnya masing-masing individu adalah unik. Beberapa problem sulit yang muncul saat konseling perkawinan antara lain:
1. Menikah tanpa persetujuan orang-tua
Cukup banyak pasangan yang menikah tanpa persetujuan / restu orang-tua, entah salah satu pihak ataupun keduanya. Seringkali pasangan ini akan sulit untuk mengambil keputusan apabila di kemudian hari menghadapi masalah dalam perkawinannya. Ada perasaan bersalah yang demikian mengganjal hati mereka sehingga mereka berusaha menutup-nutupi berbagai persoalan yang terjadi dalam hidup rumah tangga mereka. Tentu saja hal ini akan makin menyesakkan dan membuat tekanan tersendiri. Padahal mungkin saja alasan orang-tua tak merestui pernikahan anak-anaknyapun bukanlah mengada-ada, misalnya karena karakter yang buruk dari calon menantu tersebut, latar-belakang keluarga yang buruk / suram, ataupun karena kurang sepadan dari sisi sosial-ekonomi dan pendidikan.
2. Kehamilan
Terjadinya hubungan seksual sebelum pernikahan – sesuatu yang begitu lazim kedengarannya akhir-akhir ini – seringkali membawa tekanan dan konflik tersendiri pada kedua pasangan, apalagi kemudian menjadi hamil. Bila hal ini terjadi, konselor sebaiknya menganjurkan pasangan tersebut memberitahukan orang-tua masing-masing dan bertemu dengan dokter. Perasaan malu, bersalah ataupun kekecewaan harus dihadapi dan kedua belah pihak bersama orang-tua masing-masing harus memutuskan tindakan apakah yang akan diambil.
Banyak orang mengambil jalan pintas dengan menggugurkan kehamilannya, serta menanggung berbagai risiko baik fisik maupun mental di kemudian hari, apalagi jika pihak laki-laki tidak bersedia untuk bertanggung-jawab. Sebagian lagi buru-buru menikah tanpa persiapan yang cukup dan ‘menabung’ bom waktu dengan mengabaikan semua permasalahan keluarga yang muncul saat itu. Hanya sedikit yang memilih menjadi single parent atau menyerahkan bayinya untuk diadopsi oleh pasangan suami-istri yang lain.
3. Perkawinan campuran
Yang dimaksud dengan perkawinan campuran di sini adalah perkawinan antara dua orang yang sangat berbeda, misalnya dari dua bangsa, ataupun suku bangsa, umur, latar belakang sosial ekonomi dan kultur / adat-istiadat, pendidikan, dan sebagainya. Banyak orang tidak menganggap hal ini sebagai halangan, karena mereka menganggap telah memiliki cinta yang kuat. Hal ini yang sering membawa berbagai macam problema dan boomerang di kemudian hari. Jadi tidaklah terlalu disalahkan kalau kadang-kadang orang-tua tidak menyetujui pernikahan ini.
Jika akhirnya pernikahan tersebut terlaksana diharapkan pasangan ini tetap mau menghubungi konselor, psikiater ataupun psikolog saat mereka memiliki masalah dalam pernikahannya. Keluarga kedua-belah pihak diharapkan untuk tidak makin memperkeruh suasana, mengingat keduanya memang berangkat dari latar-belakang sosial-budaya yang sangat berbeda. Berilah mereka kesempatan untuk mengelola permasalahan yang ada. Nasihat dan saran-saran dari keluarga hanya diberikan apabila mereka memintanya.
4. Penyakit fisik, mental dan kecacadan
Semua pasangan tentu berharap untuk tetap memiliki kesehatan tubuh yang baik, tetapi ada kalanya tanpa mereka duga sakit penyakit baik fisik maupun mental datang mendera keluarga dan membuat hubungan yang harmonis mulai pudar. Demikian juga jika terjadi suatu kecelakaan yang berakibat kecacadan pada mereka. Barangkali yang perlu dipikirkan di sini bukan hanya materi yang dibutuhkan untuk membiayai penyakit tersebut, tetapi juga kesiapan hati menerima pasangan dalam keadaan terburuk sekalipun. Ironisnya sering justru saat salah satu dari mereka sakit / cacad, pasangan yang diharapkan memberikan support malahan pergi meninggalkan dan mencari WIL / PIL lainnya.
Penyakit fisik yang mendera salah satu anggota keluarga seringkali masih bisa ditoleransi oleh anggota keluarga yang lain. Daya tahan mereka mulai turun manakala mengahadapi salah seorang anggota keluarga berubah akalnya, mengalami berbagai gejala gangguan jiwa dari yang ringan seperti insomnia, cemas dan fobia sampai kasus-kasus yang berat seperti depresi dan skizofrenia. Salah satu pasangan bisa berubah setia apabila pasangannya menderita gangguan jiwa dan tetap menganggap ini sebagai suatu gangguan niskala akibat dibuat oleh tetangga ataupn musuh-musuh mereka.
Untuk itulah dibutuhkan suatu pemahaman bahwa pada dasarnya penyakit jiwa sama seperti penyakit fisik lainnya. Jika seseorang mengidap diabetes mellitus, mau tak mau seumur hidup mereka harus mengkonsumsi obat-obatan dengan segala plus minusnya. Sama halnya jika seseorang mengalami skizofrenia, dengan obat-obat ataupun suntikan secara berkala 2-4 minggu penyakit ini akan juga sembuh. Hal ini tidak kita sebut sebagai ketergantungan, melainkan suatu kebutuhan. Sama seperti kita harus makan pagi, makan siang dan makan malam setiap hari agar tubuh tetap sehat. Ini bukan suatu ketergantungan pada nasi bukan?

Pendekatan dalam Konseling Keluarga
Saat pasangan memutuskan untuk melakukan konseling keluarga sebenarnya mereka membutuhkan berbagai hal yang sangat penting dalam pernikahan tersebut, sehingga konselor diharapkan dapat membantu beberapa hal di bawah ini misalnya:
1. Memperbaiki komunikasi antar pasangan, agar tak saling melukai dan menyakiti satu-sama lain.
2. Meningkatkan kematangan dan kedewasaan agar keduanya merasa lebih nyaman dan memiliki privacy yang sebenarnya sangat mereka butuhkan. Dalam keadaan emosional kita melihat berbagai ketidakmatangan dalam diri masing-masing, yang tak ada hubungannya dengan umur biologis seseorang.
3. Memikirkan kesungguhan dan motivasi pernikahan, karena tanpa motivasi yang kuat umumnya mereka mudah menyerah dan mengatakan kata ‘perpisahan’.
4. Memilah-milah kebutuhan keluarga, agar diperoleh skala prioritas yang tepat, termasuk kebutuhan pribadi yang telah ada sebelumnya, serta kebutuhan anak-anak yang lahir dalam keluarga ini.
5. Usaha untuk selalu memperbaiki apabila terjadi beberapa kesalahan dalam hubungan pernikahan mereka. Tidak ada manusia yang sempurna, hal ini perlu disadari oleh kedua belah pihak agar dapat saling memaafkan dan melupakan kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan oleh pasangannya.

Tujuan Konseling Perkawinan
Dalam setiap session konseling hal-hal di bawah ini bisa dipakai sebagai acuan target konseling tersebut, misalnya:
1. Membuka jalur komunikasi suami – istri
2. Mendorong suami – istri untuk belajar mengerti sikap, tujuan, kebutuhan dan keinginan masing-masing, serta berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan yang tak mungkin diubah, seperti watak masing-masing
3. Menolong suami-istri untuk saling menerima, mempercayai dan mencegah sikap menggurui ataupun mau mengubah pasangan, tidak saling menuntut tetapi lebih bertanggung-jawab satu sama lain.
4. Membicarakan tujuan pernikahan menurut pribadi masing-masing dan menolong mereka untuk merumuskan bersama tujuan dari pernikahan tersebut
5. Mendorong suami-istri untuk mampu mengekspresikan kasih mereka, walaupun perasaan kasih sedang melemah ataupun tidak ada.

Problema dalam perceraian
Bagaimanapun gigihnya usaha seorang psikiater ataupun psikolog selaku konselor untuk memperdamaikan serta memulihkan kemelut pernikahan, kadang-kadang perceraian tidak dapat dihindarkan lagi, mungkin saja itulah jalan yang terbaik bagi mereka. Bila suami-istri memilih alternatif untuk becerai, ada cukup banyak problema tambahan yang akan muncul, seperti penyesuaian diri terhadap rasa kesepian, tidak aman, tertolak, rasa bersalah dan hilangnya rasa percaya diri. Apabila perceraian telah terjadi dan tidak ada lagi yang bisa diperbuat untuk memperbaiki perkawinan, keluarga dan masyarakat diharapkan tidak mengucilkan mereka, seperti yang banyak terjadi diantara kita, seolah-oleh mereka telah melakukan dosa yang sangat besar.
Hal-hal di bawah ini perlu dipertimbangkan oleh kedua belah pihak apabila justru keputusan untuk bercerai yang dipilih:
1. Bagaimana perwalian atau hak asuh anak
Hal ini merupakan bagian paling rumit dalam perceraian, karena umumnya dikaitkan dengan adat-istiadat yang kurang tanggap dengan perkembangan jaman dan jiwa seseorang. Akibatnya meskipun telah diputuskan oleh pengadilan siapa yang berhak memperoleh hak asuh anak, pihak yang tidak memperolehnya akan terus melakukan banding dan berbagai upaya untuk mengambil anak-anak tersebut, tanpa pernah memikirkan bagaimana sesungguhnya perasaan si anak tersebut. Penting untuk dicatat di sini, saat kata cerai diucapkan, pasangan akan menjadi mantan istri dan mantan suami, tetapi hubungan anak dan orang-tua tidak pernah berubah menjadi mantan anak, mantan ayah maupun mantan ibu.
Hubungan darah dan hubungan emosional orang-tua anak sangat sulit untuk diputuskan termasuk oleh perceraian. Dengan demikian ayah / ibu yang memperoleh hak asuh anak seharusnya tetap berlapang dada terhadap kehadiran mantan pasangannya untuk turut bergantian bertemu, mengasuh, memelihara dan merasakan kebahagiaan bersama anak-anak mereka pada waktu-waktu yang telah disepakati. Bukan sebaliknya menjadi musuh dan menanamkan bibit-bibit permusuhan tersebut ke jiwa dan otak anak-anak yang tak berdosa.
2. Bagaimana mengatur pertemuan agar anak-anak tidak semakin menjadi korban
Anak-anak korban perceraian seringkali hidup dalam alam ketidak-pastian dan sulit untuk beradaptasi dengan situasi baru mereka. Tak jarang anak-anak ini tumbuh menjadi sosok pembangkang, sulit diatur, mengalami banyak kemunduran (regresi) dan depresi. Anak-anak sering harus berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya menuruti emosi dan harga diri orang-tua yang sedang bertikai sesudah perceraian.
Mereka seringkali diminta untuk menjadi ‘intel’ atau mata-mata untuk melaporkan kejadian apa saja yang terjadi di rumahnya kepada orang-tua yang tinggal di rumah yang lain. Belum lagi kemarahan-kemarahan yang mereka terima dari kedua orang-tua karena masing-masing orang-tua merasa diri merekalah yang paling benar. Permasalahan juga muncul pada saat anak sakit, terlibat gangguan tingkah laku dan memerlukan perawatan khusus dari psikiater ataupun dokter yang lain.
3. Bagaimana pembagian rumah dan aset yang mereka miliki serta pembiayaan lainnya
Jika orang-tua memiliki rumah lebih dari satu umumnya tidaklah menjadi masalah untuk dibagi, yang sering menjadi bahan keributan adalah jika mereka harus menjual aset-aset yang dimiliki serta membagi uang yang diperoleh tersebut demi kepentingan masa depan anak-anak. Seringkali ayah diminta tetap menanggung nafkah sampai istri menikah lagi dan anak-anak minimal menamatkan SMA-nya. Dalam kenyataannya hanya sedikit keluarga yang melakukan kewajiban ini, karena masih diliputi dendam dan kemarahan. Sebagian lagi hanya melakukannya beberapa bulan atau tahun pertama saja dan menghentikannya begitu saja. Banyak pasangan bahkan mengaku tak pernah memikirkan lagi biaya hidup anak-anak mereka setelah bercerai, dan membebankannya kepada pihak lain (seringkali kakek dan nenek anak-anak tersebut ataupun keluarga mereka yang kebetulan memiliki kepedulian lebih tinggi).

Penutup
Konseling perkawinan merupakan suatu bentuk layanan yang sangat bermanfaat bagi keluarga, yang disediakan oleh para psikiater, psikolog ataupun lembaga-lembaga keagamaan. Masyarakat diharapkan mau membuka diri dan memanfaatkan layanan ini demi kehidupan keluarga yang lebih harmonis dan berbahagia.
Fungsi dan peran masing-masing anggota keluarga seringkali sulit untuk dideskripsikan secara jelas, mengingat begitu banyak pertimbangan dan tuntutan untuk kesamaan gender termasuk persamaan hak laki-laki dan perempuan. Hak dan kewajiban tersebut idealnya memang perlu dibahas saat keduanya berpacaran dan memikirkan untuk merajut tali perkawinan, sehingga tak ada masalah di kemudian hari.
Saat anak-anak mulai berpacaran seyogyanya para guru dan orang-tua bisa lebih komunikatif dan memberikan seks-edukasi yang benar, agar tidak terjadi hubungan seks pranikah dan kehamilan yang tak diinginkan, yang membuat mereka terburu-buru melaksanakan pernikahan. Dengan demikian mereka bisa benar-benar memilih pasangan yang tepat, saling menerima dan menyesuaikan diri, serta memiliki perkawinan yang langgeng dan harmonis.
Mengingat begitu banyaknya permasalahan yang timbul dalam kehidupan berkeluarga, diharapkan pasangan yang akan menikah mau membuka diri dan melakukan berbagai upaya preventif. Para psikiater dan konselor lainnya di lembaga-lembaga yang dipercaya untuk menyelenggarakan konseling perkawinan diharapkan memahami betapa pentingnya konseling perkawinan dan konseling pranikah tersebut, serta mengupayakannya sebagai bagian pengenalan fungsi dan peran masing-masing anggota keluarga.


Apabila ada kritik dan saran, serta masukan untuk tulisan ini mohon bisa dikirim ke alamat e-mail : lelysetyawati@yahoo.com atau via sms ke 081-7470-9797. Salam Bahagia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar